Archive for the artikel Category

PENGANTAR DISKUSI BUKU KUMPULAN PUISI MUKHID: TULISLAH NAMAKU DENGAN ABU – Nanang Suryadi

Posted in artikel on November 2, 2007 by alumni teater hampa

Bertempat di Aula Perpustakaan Universitas Negeri Malang
Rabu, 11 Oktober 2006
Pukul: 12.45 – 14.00 WIB)

Pergulatan dengan puisi seringkali mendorong penyair mencintai dengan keras kepala. Seringkali penyair tidak dapat melepaskan diri dari puisi, bukan karena ia ingin mendapatkan gelar atau sebutan penyair, namun yang terjadi adalah ia selalu merasa terikat dengan dunia tersebut, entah apapun alasannya. Jika pada akhirnya Mukhid menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi, setelah sekian lama tidak pernah membukukan dalam antologi tunggal, adalah juga merupakan bagian dari proses kepenyairannya. Dengan adanya sebuah buku kumpulan puisi, sang penyair dapat berharap puisi-puisi yang lahir melalui tangannya tidak lenyap begitu saja. Puisi berhak untuk bergaul dan dikenal banyak orang di luar penyairnya sendiri. Pengalaman puitis sang penyair berhak dicatet dan mendapat tempat.

Saya mengenal Mukhid lebih dari sepuluh tahun lalu, bersama-sama terlibat dalam kegiatan seni di Kota Malang sejak masa mahasiswa di tahun 90-an, khususnya teater dan sastra. Masa-masa penuh gairah berkesenian, hingga menembus malam dengan diskusi-diskusi tentang berbagai hal, termasuk mendiskusikan puisi yang kami tulis. Beberapa sajaknya saya baca dalam kumpulan-kumpulan puisi bersama. Namun dalam pengamatan saya, dibanding aktivitas penulisan puisi Mukhid lebih intens dalam pementasan teater.

Aktivitas Mukhid dalam pementasan teater, baik sebagai aktor, sutradara serta penulis naskah terasa mempengaruhi penulisan sajak-sajaknya, sebagai buktinya adalah karya-karya dalam buku ini. Pertunjukan teater seringkali menampilkan “kejelasan” atau “keterbukaan” yang lebih dengan menggunakan bahasa verbal dan bahasa tubuh agar penonton dapat memahami apa yang disampaikan sang aktor di panggung. Keterbukaan inilah yang seringkali saya temui dalam sajak-sajak Mukhid. Penyair dalam menulis sajak-sajaknya seperti telah mempersiapkan untuk melisankan sajak-sajaknya dalam sebuah panggung pementasan, bukan sekedar tampil dalam sebuah buku. Tradisi pelisanan sebuah karya sastra menjadikan sajak-sajak yang ditulis penyair menjadi lebih cair dengan bahasa yang lugas. Terlebih lagi, jika ditelusuri dalam beberapa larik sajaknya terasa Mukhid secara sadar atau tidak meminjam gaya penyair yang sering melisankan puisinya di atas panggung, seperti Rendra dan Emha Ainun Najib.

Dalam 44 sajak yang ada dalam buku ini, saya temukan banyak sekali kata-kata tentang Tuhan, atau kata gantinya seperti Mu, Gusti, Sang Maha Suci, Nya, Engkau. Kata-kata tersebut muncul dalam berbagai suasana sajaknya, entah di saat sepi, entah di saat gaduh hiruk pikuk protes sosial. Hubungan penyair dengan Tuhannya memang seringkali merupakan sebuah pengalaman puitis yang menggelitik untuk dituliskan menjadi sebuah sajak. Jika kita baca sajak-sajak dalam khazanah perpuisian tanah air dan dunia, tema tentang hubungan penyair dengan Tuhannya sangat banyak dijumpai.

Hubungan Mukhid dengan Tuhannya, dapat terlihat dalam larik-larik sajak berikut: Tuhan, kalau Engkau memang Kenyataan Tertinggi./Kita berdamai saja mulai hari ini (Berdamai Dengan Kenyataan). “Tidak! Sebelum aku menyamai Tuhan!” (Dialog Imajiner dengan Caligula). Kugedor lagi pintu. Kuteriakkan keras-keras/ entah nama-Nya atau namaku./ Tetap tak ada jawab. Selain harap/ (Di Luar terlalu Gaduh) Dengan putus asa aku pun berbisik lembut:/ “Gusti. Bukakan pintu. Kuncinya tak kutemu/ Aku ingin istirah. Di luar terlalu gaduh./ Di luar terlalu gaduh…”/ (Di Luar Terlalu Gaduh). Tuhan, maafkan aku/114 surat yang kau kirim/ tak pernah sempat kubalas// Engkau terlalu absurd sih,/ hingga untuk memahami satu huruf saja/ dari kalimat-kalimat indahmu/ diperlukan ribuan kesabaran bumi/ dan ratusan kesetiaan matahari.// Engkau terrlalu misterius sih,/ hingga meski kudapat 99 catatan alamatmu/ yang terpatri di helaan nafasku/ jangankan mengetuk pintumu/ membaca alifmu saja aku tak mampu// Engkau terlalu lembut,/ hingga walau kutemu 6666 kunci gaibmu/ tak pernah bisa kubuka jua/ jangankan tabir Diri-Mu/ tabir diriku saja aku tak kuasa// Tuhan, maafkan aku/ 114 surat yang kau kirim/ tak pernah sempat kubalas// (Mungkin mataku yang buta/ hingga tak pandai mengeja./ Mungkin tanganku yang tak berdaya.)” (Tuhan Maafkan Aku). Tuhan, tuntunlah tanganku (Peta Nasib 2). Masihkah tersisa ruang buat Tuhan/ di sudut nuarni? (Sajak Milenium). Tak semua bisa dirumuskan/ memang./ Seperti malam ini/ ketika air mata bercucuran/ Sewaktu tiba-tiba/ kita melakukan kesalahan yang memang dikehendaki-Nya. (Tak Semua) Duh Gusti,/ hamba semakin tak mengerti (Malam di Ujung). Di dalam ruang kecemasan:/ mungkin saja Tuhan sedang tertawa/ mengolok-olok kekonyolan kita (Di Dalam Ruang Kecemasan). Kubaca namaMu/ dalam dekap sunyi kalbuku (Kubaca Dunia). Tiba-tiba aku jadi teringat/ butir-butir firman Tuhan,/ maut, kubur dan akhirat/ Aku jadi semakin tak percaya/ bahwa dunia ini betul-betul nyata// “Duh Gusti,/ tanggal apa dan hari berapa/ kita akan bertemu?” (Ini Hari Apa? Tanggal Berapa?). Tuhan,/ Kalau memang kecemasan adalah salah satu dari/ bahasa Cinta-Mu/ Beri aku satu kecemasan saja:/ harap-harap cemas kalau-kalau aku tak mampu/ memandang wajah-Mu/ di Hari Yang Dijanjikan (56 Tahun Indonesia (Masih) Cemas). Duhai Sang Pengarang/ kapan ini bermula/ dan kapan ini akan berakhir? (Tanda Tanya Agung). Tuhan, beri aku kekuatan untuk berevolusi/ sebab aku tak mau hatiku mati (Revolusi Dimulai Hari Ini). Tuhan, Biarkan kugedor bilik hatimu-Mu/ Biar lunglai kakiku ragu/ Biar gentar mataku sayu// Tuhan,/ Bukalah pintu rumah-Mu/ Biar aku bertamu/ dan menyantap semua hidangan-Mu:/ sekerat cinta, periuk nasib, saripati keyakinan, juga/ manisan keindahan segala jaman (Bukalah Bilik Hatimu). Gusti,/ Mohon kali ini engkau/ balas dengan gambling/ Tak perlu attachment/ alias lampiran/ Tolong kirimi aku: peta nasib, resume keyakinan/ dan sejumlah alamat kebahagiaan (Tuhan@Arasy.Com). Maka Tuhan pun memanggil seluruh pejabat/ negeri yang kata orang potongan sorga itu./ Sungguh pemandangan menakjubkan/ Menyaksikan berjajar-jajar orang/ menantikan keputusan Sang Maha Adil (Tuhan Tidak Menerima Sogokan)

Kata-kata lain yang juga digemari Mukhid dan kerap muncul dalam sajaknya adalah sepi, cemas, nasib serta nama-nama tokoh mitos dan tokoh nyata. Kata sepi bahkan menjadi bagian dalam judul bukan hanya dalam teks di tubuh sajaknya (misalnya judul: Catatan Sepi 1, Catatan Sepi 2, Catatan Sepi 3, Catatan Sepi 4)

Demikianlah, sekedar catatan singkat pengantar diskusi. Banyak hal yang ingin saya sampaikan tentang sajak-sajak Mukhid ini, yang mungkin bersetuju dengan para peserta diskusi kita kali ini. Sebagai penutup saya bacakan 4 Sajak Mukhid:

TULISLAH NAMAKU DENGAN ABU
Bakarlah aku dalam bilik jantungmu
hingga yang tersisa hanya abu
Lalu dengan abu itu tulislah namaku
seperti waktu kau punguti jam-jam yang meragu

Tulislah namaku dengan abu
Sebab kenangan hanyalah catatan alam yang
berdebu
Meski hidup cuma bayangan semu
Tataplah hari-hari dengan senyummu

Tulislah namaku dengan abu
Untuk sekedar memberi kemungkinan sang waktu
Melakukan tawar menawar dengan Tuhan
Karena perjalanan, betapapun berat, harus
diteruskan

Tuliskan namaku dengan abu
Berdoalah agar dari kematianku
datang kelahiran baru
Agar aku tak kehilangan kepercayaan
kepada kesejatian

Tulislah namaku dengan abu
Karena rasa berdaya tak boleh mati begitu saja
kesabaran menjadi samudra
daya hidup menjadi cakrawala

Tulislah namaku dengan abu
Sebab kita tak pernah berencana bertemu
Tulislah namaku dengan abu
Biarlah angina membawa pergi kemana ia mau

21 Maret 1998

DI LUAR TERLALU GADUH

Dengan tergopoh-gopoh kugedor pintu:
“Buka pintu! Cepat! Di luar terlalu gaduh.
Aku ingin istirah, biar hatiku teduh.”

Tak ada jawab. Hanya senyap.

Kugedor lagi pintu. Kuteriakkan keras-keras
entah nama-Nya atau namaku.
Tetap tak ada jawab. Selain harap.

Sekali lagi kugedor pintu. Tak bisa lagi nunggu.
Kali ini segala hardik dan serapah
Melumur jua dari bibirku. Senyap sesaat.
Sampai…

“Kuncinya ada padamu!”

Aku kelabakan, berputar-putar mencari kunci.
Dari segala batas yang kutahu, aku mencari.
Dari segala ujung yang kutahu, aku mencari
Tak juga kutemu.

Dengan putus asa akupun berbisik lembut:
“Gusti. Bukakan pintu. Kuncinya tak kutemu.
Aku ingin istirah. Di luar terlalu gaduh.
Di luar terlalu gaduh…”

18 Desember 1998

SAJAK SEPOTONG MANGGA

Pernahkah engkau bertanya:
Kenapa mangga rela
Menjadi mangga

24 Desember 1999

KUTUKLAH AKU UNTUK MENCINTAIMU

Kutuklah aku untuk mencintaiMu,
karena mataku telah buta oleh pesona dunia
karena telingaku telah terpikat oleh merdu sarwa
Suara
karena tanganku telah kotor oleh noda
karena mulutku telah berlumur pura-pura
karena aku selalu kalah oleh nafsu yang bertahta

Kutuklah aku untuk mencintaiMu
Karena aku telah terperangkap asmara nan maya
Karena jauh di lubuk kalbuku
Masih kurindu wajahMu
Walau dengan perih hati dan rasa amat tak berdaya

Kutuklah aku untuk mencintaiMu
sebab aku tak mampu lepas dari berhala diri
sebab aku tak sanggup menghindar dari nafsu
duniawi
sebab aku terkurung dalam labirin kepalsuan nan
memabukkan
sebab aku terperangkap dalam jerat-jerat keakuan
Kutuklah aku untuk mencintaiMu

Jauhkan segala yang akan menjauhkan aku dariMu
Singkirkan segala yang menyilaukan aku dari
memandangMu
halau segala yang menambatkan hatiku tidak
padaMu
kutuklah aku menjadi pecinta sejatiMu

Teater Indonesia Harus Menciptakan Tradisinya Sendiri – Edy Suyanto

Posted in artikel on November 2, 2007 by alumni teater hampa

”Perkembangan teater saat ini adalah perkembangan teater post-Stanislavsky. Setelah Stanislavsky, tumbuh teater baru yang mementingkan sutradara,” begitu kata Asrul Sani ketika saya mewawancarainya dalam satu kesempatan di pertengahan tahun 2000 lalu. Dikatakannya pula, ”Di Eropa, orang sudah enggak perlu surealisme lagi. Sudah jenuh. Mereka mencari bentuk yang lain. Tapi kita baru mulai, akibatnya biarpun lama berteater, tapi tidak melahirkan aktor yang baik.”
Sungguh, hal itu terngiang lagi di kesadaranku, karena ternyata permasalahan lama itu muncul kembali, diujarkan dengan bahasa yang lain oleh Harris Priadie Bah dalam diskusi teater yang diadakan oleh meja budaya hari Jumat tanggal 18 Juli 2003 lalu di PDS. HB. Jassin. Dengan bahasanya, Harris menyatakan bahwa teater modern Indonesia merupakan teater yang didirikan dengan tradisi pemusatan kuasa pada corak badan dan pikiran sang sutradara.
Memang bukan tema baru. Tapi harus diakui juga, permasalahan itu bukannya telah selesai sekarang. Ada satu hal penting mengapa itu sampai terjadi. Menurut Harris, yaitu adanya paradigma paternalistik, di mana itu memunculkan pemusatan wacana teater pada sosok tunggal sutradara.
Tapi sayangnya, diskusi sore itu tidak terlalu jauh mengurai untuk mencari sebab dari kegelisahan yang dilemparkan Harris. Terlebih dengan waktu yang dibatasi justru oleh moderator.
Tanpa paparan yang lebih jauh tentang sebab-sebab itu, Harris lalu menawarkan sebuah ajakan untuk mendevitalisasi paradigma paternalistik dengan sebuah paradigma pempribadian, di mana tradisi kerja kolektif dalam teater harus dimaknai sebagai fasilitas bersama untuk terberdirikannya proses emansipasi lintas pribadi.
Sebuah ajakan yang tidak mendasar buat saya, sebab, tanpa adanya paradigma pempribadian itu pun, sebuah kerja teater memang sebuah kerja kolektif. Sebuah keloktivitas tentu mensyaratkan adanya kesetaraan dengan menghargai dan menjalankan tanggung-jawab posisinya masing-masing. Seorang sutradara atau pemain, pasti mempunyai sebuah wilayah yang tidak bisa diganggu-gugat oleh pihak di luar dirinya. Suatu wilayah ”otonomi diri”, di mana dia menjadi penguasa akan kediriannya dan memahami seluruh bahasa dirinya ketika dia harus memilih kerjanya dalam proses kreatif teater. Hal ini juga untuk menjawab kegelisahan Nur Zein Hae yang melihat pemain masih sebagai subordinat dalam produksi teater.
Pun, saat Nur Zein menawarkan solusi bahwa teater modern Indonesia harus menengok ke teater tradisi, dengan asumsi bahwa dalam teater tradisi, sutradara hanya berperan dalam mengatur plot cerita dan pola pengadeganan (mise en scene). Selebihnya pemain yang berperan. Tapi Nur Zein lupa, bahwa antara teater modern dan teater tradisi memiliki pola dan syarat yang saling berlainan.
Teater tradisi hidup dan dihidupi orang-orang yang lebih homogen dan memiliki semangat lokalitas yang tinggi. Mereka mempunyai hubungan yang intens, baik dalam proses kreatif maupun dalam hubungan sosial. Ada semangat kekerabatan yang berusaha selalu mereka tumbuhkan. Kesenian adalah sesuatu yang coba mereka pertahankan sebagai simbol komunal wilayah hidup.
Sedangkan teater modern adalah hasil pembelajaran dari tradisi barat, yang kemudian disikapi sebagai ilmu. Kalaupun toh kemudian ada yang memilih teater sebagai jalan, yang muncul kemudian adalah teater yang hidup dengan semangat memperbaharui yang terus-menerus dengan segala pencarian bentuk kreatifnya sebagai bahasa visual. Tradisi cuma sekadar aksesori, bahkan terkadang sampai melawan tradisi. Itu pilihan. Jadi sangat aneh, kalau kita harus merujuk ke teater tradisi untuk menjawab permasalahan teater modern seperti yang ditawarkan Nur Zein.
Pada akhirnya, teater modern Indonesia adalah kompleksitas. Membicarakan persoalan aktor, misalnya, mau tidak mau kita akan membicarakan teater sebagai sebuah disiplin. Termasuk masa lalunya.
Saya setuju dengan pendapat bahwa teater modern Indonesia masih memakai paradigma paternalistik. Munculnya kelompok-kelompok teater, berbiak dari teater-teater sebelumnya. Seperti layaknya sebuah keluarga, seorang anak yang sudah merasa dewasa dan ingin mandiri, tentu ada keinginan untuk memisahkan diri dari keluarga besarnya dan membentuk keluarganya sendiri. Maka keluarga-keluarga baru bermunculan. Itulah teater modern Indonesia. Budaya paternal yang dia cerap selama masa kanak-kanaknya itu tanpa sadar ikut terbawa ketika ia ingin berdiri sendiri. Terjadi pelembagaan terhadap budaya paternalistik.
Seorang aktor dalam kelompok terdahulunya akhirnya akan berkeinginan juga menjadi sutradara ketika dia keluar dan menciptakan kelompoknya sendiri. Keaktoran saja tidak cukup bagi seorang aktor. Sutradara adalah puncak pilihan.
Saya kira, inilah struktur berpikir yang kadung tertanam di benak—secara umum—para pekerja teater Indonesia. Dan kalau itu dianggap kesalahan, saya kira, itulah sebabnya yang berkembang kemudian adalah teater sutradara. Kita tidak pernah benar-benar lepas dari masa silam, atau bahkan tanpa masa silam seperti kata Arifin C. Noer almarhum. Kita masih terbelenggu dengan budaya paradigma lama yang paternal.
Pengertian antara teater sutradara dan teater aktor, bukanlah masalah penting. Yang harus kita tumbuhkan sekarang ini adalah sebuah teater yang benar-benar tanpa hubungan dengan para pendahulunya. Yang tidak membawa naluri tradisi paternalistik. Teater yang tidak peduli dengan masa lalunya sendiri. Teater yang berani memutus mata-rantai sejarah perkembangan sebelumnya. Tanpa masa silam yang sebenarnya.
Teater modern Indonesia kemudian lahir dari gagasan-gagasan dan kegelisahan sekumpulan orang yang meniatkan dirinya untuk melebur menjadi sebuah kelompok teater. Artinya: teater itu lahir bukan karena kegelisahan satu orang saja. Hal itu akan berpotensi ke arah teater sutradara seperti teater-teater Indonesia sebelumnya.
Niatan itu tentu saja harus didukung orang-orang dengan kemampuan dan kualitas yang memadai di bidangnya masing-masing. Baik itu pemain, sutradara, penulis naskah, bagian artistik, bahkan sampai di bidang manajerial. Semuanya dengan semangat dan visi yang sama. Tidak ada heirarki atas-bawah di dalamnya. Setiap individu mempunyai posisi yang sama pentingnya. Setiap orang berhak melemparkan gagasan untuk direspons dan didiskusikan bersama. Bagaimana individu yang memilih di bagian penulisan naskah kemudian serius mengerjakan tugasnya dari hasil diskusi itu. Bagian manajerial kemudian sibuk membuat surat-surat dan proposal pertunjukan. Para pemain giat mempersiapkan tubuhnya dalam latihan-latihan rutin. Bagian penyutradaraan memilih, siapa yang siap untuk menyutradarai gagasan itu. Dalam bahasanya Adi Wicaksono: bagian-bagian itu kemudian dilembagakan. Setiap lembaga di dalamnya hanya mengurusi apa yang menjadi bagiannya. Orang yang harus menyutradarai, tidak serta-merta juga menjadi pimpinan produksi. Atau seorang pemain yang juga merangkap mengurusi surat-surat dan proposal yang harus dibuat. Dengan begitu, setiap orang akan mampu lebih maksimal mengerjakan apa yang menjadi tanggung-jawabnya.
Dalam teater seperti itu, akan lebih banyak memunculkan warna dan corak pada tiap produksi kreatifnya, karena setiap sutradara di dalamnya, dengan seluruh kapasitasnya, masing-masing mempunyai gaya dan cara pengucapannya yang khas. Seorang pemain akan lebih menemukan gaya aktingnya dari setiap sutradara yang berbeda.
Maka tidak penting lagi dipertanyakan, teater sutradara atau teater aktor yang muncul, atau malah teater naskah, karena ternyata naskah yang tertulis lebih kuat dibanding aktor atau sutradaranya, misalkan. Semuanya telah selesai ketika itu didiskusikan dan digodok hingga menjadi sebuah ide bersama yang lebih matang dan jelas.
Dalam teater seperti itu, keberagaman bentuk lebih berkemungkinan untuk menemukan semangat dan hidupnya. Dengan sendirinya, hal itu akan lebih memperkaya perkembangan teater modern Indonesia yang sudah memilih untuk melupakan masa lalunya dan menciptakan sejarah dan tradisinya sendiri.