PENGANTAR DISKUSI BUKU KUMPULAN PUISI MUKHID: TULISLAH NAMAKU DENGAN ABU – Nanang Suryadi

Bertempat di Aula Perpustakaan Universitas Negeri Malang
Rabu, 11 Oktober 2006
Pukul: 12.45 – 14.00 WIB)

Pergulatan dengan puisi seringkali mendorong penyair mencintai dengan keras kepala. Seringkali penyair tidak dapat melepaskan diri dari puisi, bukan karena ia ingin mendapatkan gelar atau sebutan penyair, namun yang terjadi adalah ia selalu merasa terikat dengan dunia tersebut, entah apapun alasannya. Jika pada akhirnya Mukhid menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi, setelah sekian lama tidak pernah membukukan dalam antologi tunggal, adalah juga merupakan bagian dari proses kepenyairannya. Dengan adanya sebuah buku kumpulan puisi, sang penyair dapat berharap puisi-puisi yang lahir melalui tangannya tidak lenyap begitu saja. Puisi berhak untuk bergaul dan dikenal banyak orang di luar penyairnya sendiri. Pengalaman puitis sang penyair berhak dicatet dan mendapat tempat.

Saya mengenal Mukhid lebih dari sepuluh tahun lalu, bersama-sama terlibat dalam kegiatan seni di Kota Malang sejak masa mahasiswa di tahun 90-an, khususnya teater dan sastra. Masa-masa penuh gairah berkesenian, hingga menembus malam dengan diskusi-diskusi tentang berbagai hal, termasuk mendiskusikan puisi yang kami tulis. Beberapa sajaknya saya baca dalam kumpulan-kumpulan puisi bersama. Namun dalam pengamatan saya, dibanding aktivitas penulisan puisi Mukhid lebih intens dalam pementasan teater.

Aktivitas Mukhid dalam pementasan teater, baik sebagai aktor, sutradara serta penulis naskah terasa mempengaruhi penulisan sajak-sajaknya, sebagai buktinya adalah karya-karya dalam buku ini. Pertunjukan teater seringkali menampilkan “kejelasan” atau “keterbukaan” yang lebih dengan menggunakan bahasa verbal dan bahasa tubuh agar penonton dapat memahami apa yang disampaikan sang aktor di panggung. Keterbukaan inilah yang seringkali saya temui dalam sajak-sajak Mukhid. Penyair dalam menulis sajak-sajaknya seperti telah mempersiapkan untuk melisankan sajak-sajaknya dalam sebuah panggung pementasan, bukan sekedar tampil dalam sebuah buku. Tradisi pelisanan sebuah karya sastra menjadikan sajak-sajak yang ditulis penyair menjadi lebih cair dengan bahasa yang lugas. Terlebih lagi, jika ditelusuri dalam beberapa larik sajaknya terasa Mukhid secara sadar atau tidak meminjam gaya penyair yang sering melisankan puisinya di atas panggung, seperti Rendra dan Emha Ainun Najib.

Dalam 44 sajak yang ada dalam buku ini, saya temukan banyak sekali kata-kata tentang Tuhan, atau kata gantinya seperti Mu, Gusti, Sang Maha Suci, Nya, Engkau. Kata-kata tersebut muncul dalam berbagai suasana sajaknya, entah di saat sepi, entah di saat gaduh hiruk pikuk protes sosial. Hubungan penyair dengan Tuhannya memang seringkali merupakan sebuah pengalaman puitis yang menggelitik untuk dituliskan menjadi sebuah sajak. Jika kita baca sajak-sajak dalam khazanah perpuisian tanah air dan dunia, tema tentang hubungan penyair dengan Tuhannya sangat banyak dijumpai.

Hubungan Mukhid dengan Tuhannya, dapat terlihat dalam larik-larik sajak berikut: Tuhan, kalau Engkau memang Kenyataan Tertinggi./Kita berdamai saja mulai hari ini (Berdamai Dengan Kenyataan). “Tidak! Sebelum aku menyamai Tuhan!” (Dialog Imajiner dengan Caligula). Kugedor lagi pintu. Kuteriakkan keras-keras/ entah nama-Nya atau namaku./ Tetap tak ada jawab. Selain harap/ (Di Luar terlalu Gaduh) Dengan putus asa aku pun berbisik lembut:/ “Gusti. Bukakan pintu. Kuncinya tak kutemu/ Aku ingin istirah. Di luar terlalu gaduh./ Di luar terlalu gaduh…”/ (Di Luar Terlalu Gaduh). Tuhan, maafkan aku/114 surat yang kau kirim/ tak pernah sempat kubalas// Engkau terlalu absurd sih,/ hingga untuk memahami satu huruf saja/ dari kalimat-kalimat indahmu/ diperlukan ribuan kesabaran bumi/ dan ratusan kesetiaan matahari.// Engkau terrlalu misterius sih,/ hingga meski kudapat 99 catatan alamatmu/ yang terpatri di helaan nafasku/ jangankan mengetuk pintumu/ membaca alifmu saja aku tak mampu// Engkau terlalu lembut,/ hingga walau kutemu 6666 kunci gaibmu/ tak pernah bisa kubuka jua/ jangankan tabir Diri-Mu/ tabir diriku saja aku tak kuasa// Tuhan, maafkan aku/ 114 surat yang kau kirim/ tak pernah sempat kubalas// (Mungkin mataku yang buta/ hingga tak pandai mengeja./ Mungkin tanganku yang tak berdaya.)” (Tuhan Maafkan Aku). Tuhan, tuntunlah tanganku (Peta Nasib 2). Masihkah tersisa ruang buat Tuhan/ di sudut nuarni? (Sajak Milenium). Tak semua bisa dirumuskan/ memang./ Seperti malam ini/ ketika air mata bercucuran/ Sewaktu tiba-tiba/ kita melakukan kesalahan yang memang dikehendaki-Nya. (Tak Semua) Duh Gusti,/ hamba semakin tak mengerti (Malam di Ujung). Di dalam ruang kecemasan:/ mungkin saja Tuhan sedang tertawa/ mengolok-olok kekonyolan kita (Di Dalam Ruang Kecemasan). Kubaca namaMu/ dalam dekap sunyi kalbuku (Kubaca Dunia). Tiba-tiba aku jadi teringat/ butir-butir firman Tuhan,/ maut, kubur dan akhirat/ Aku jadi semakin tak percaya/ bahwa dunia ini betul-betul nyata// “Duh Gusti,/ tanggal apa dan hari berapa/ kita akan bertemu?” (Ini Hari Apa? Tanggal Berapa?). Tuhan,/ Kalau memang kecemasan adalah salah satu dari/ bahasa Cinta-Mu/ Beri aku satu kecemasan saja:/ harap-harap cemas kalau-kalau aku tak mampu/ memandang wajah-Mu/ di Hari Yang Dijanjikan (56 Tahun Indonesia (Masih) Cemas). Duhai Sang Pengarang/ kapan ini bermula/ dan kapan ini akan berakhir? (Tanda Tanya Agung). Tuhan, beri aku kekuatan untuk berevolusi/ sebab aku tak mau hatiku mati (Revolusi Dimulai Hari Ini). Tuhan, Biarkan kugedor bilik hatimu-Mu/ Biar lunglai kakiku ragu/ Biar gentar mataku sayu// Tuhan,/ Bukalah pintu rumah-Mu/ Biar aku bertamu/ dan menyantap semua hidangan-Mu:/ sekerat cinta, periuk nasib, saripati keyakinan, juga/ manisan keindahan segala jaman (Bukalah Bilik Hatimu). Gusti,/ Mohon kali ini engkau/ balas dengan gambling/ Tak perlu attachment/ alias lampiran/ Tolong kirimi aku: peta nasib, resume keyakinan/ dan sejumlah alamat kebahagiaan (Tuhan@Arasy.Com). Maka Tuhan pun memanggil seluruh pejabat/ negeri yang kata orang potongan sorga itu./ Sungguh pemandangan menakjubkan/ Menyaksikan berjajar-jajar orang/ menantikan keputusan Sang Maha Adil (Tuhan Tidak Menerima Sogokan)

Kata-kata lain yang juga digemari Mukhid dan kerap muncul dalam sajaknya adalah sepi, cemas, nasib serta nama-nama tokoh mitos dan tokoh nyata. Kata sepi bahkan menjadi bagian dalam judul bukan hanya dalam teks di tubuh sajaknya (misalnya judul: Catatan Sepi 1, Catatan Sepi 2, Catatan Sepi 3, Catatan Sepi 4)

Demikianlah, sekedar catatan singkat pengantar diskusi. Banyak hal yang ingin saya sampaikan tentang sajak-sajak Mukhid ini, yang mungkin bersetuju dengan para peserta diskusi kita kali ini. Sebagai penutup saya bacakan 4 Sajak Mukhid:

TULISLAH NAMAKU DENGAN ABU
Bakarlah aku dalam bilik jantungmu
hingga yang tersisa hanya abu
Lalu dengan abu itu tulislah namaku
seperti waktu kau punguti jam-jam yang meragu

Tulislah namaku dengan abu
Sebab kenangan hanyalah catatan alam yang
berdebu
Meski hidup cuma bayangan semu
Tataplah hari-hari dengan senyummu

Tulislah namaku dengan abu
Untuk sekedar memberi kemungkinan sang waktu
Melakukan tawar menawar dengan Tuhan
Karena perjalanan, betapapun berat, harus
diteruskan

Tuliskan namaku dengan abu
Berdoalah agar dari kematianku
datang kelahiran baru
Agar aku tak kehilangan kepercayaan
kepada kesejatian

Tulislah namaku dengan abu
Karena rasa berdaya tak boleh mati begitu saja
kesabaran menjadi samudra
daya hidup menjadi cakrawala

Tulislah namaku dengan abu
Sebab kita tak pernah berencana bertemu
Tulislah namaku dengan abu
Biarlah angina membawa pergi kemana ia mau

21 Maret 1998

DI LUAR TERLALU GADUH

Dengan tergopoh-gopoh kugedor pintu:
“Buka pintu! Cepat! Di luar terlalu gaduh.
Aku ingin istirah, biar hatiku teduh.”

Tak ada jawab. Hanya senyap.

Kugedor lagi pintu. Kuteriakkan keras-keras
entah nama-Nya atau namaku.
Tetap tak ada jawab. Selain harap.

Sekali lagi kugedor pintu. Tak bisa lagi nunggu.
Kali ini segala hardik dan serapah
Melumur jua dari bibirku. Senyap sesaat.
Sampai…

“Kuncinya ada padamu!”

Aku kelabakan, berputar-putar mencari kunci.
Dari segala batas yang kutahu, aku mencari.
Dari segala ujung yang kutahu, aku mencari
Tak juga kutemu.

Dengan putus asa akupun berbisik lembut:
“Gusti. Bukakan pintu. Kuncinya tak kutemu.
Aku ingin istirah. Di luar terlalu gaduh.
Di luar terlalu gaduh…”

18 Desember 1998

SAJAK SEPOTONG MANGGA

Pernahkah engkau bertanya:
Kenapa mangga rela
Menjadi mangga

24 Desember 1999

KUTUKLAH AKU UNTUK MENCINTAIMU

Kutuklah aku untuk mencintaiMu,
karena mataku telah buta oleh pesona dunia
karena telingaku telah terpikat oleh merdu sarwa
Suara
karena tanganku telah kotor oleh noda
karena mulutku telah berlumur pura-pura
karena aku selalu kalah oleh nafsu yang bertahta

Kutuklah aku untuk mencintaiMu
Karena aku telah terperangkap asmara nan maya
Karena jauh di lubuk kalbuku
Masih kurindu wajahMu
Walau dengan perih hati dan rasa amat tak berdaya

Kutuklah aku untuk mencintaiMu
sebab aku tak mampu lepas dari berhala diri
sebab aku tak sanggup menghindar dari nafsu
duniawi
sebab aku terkurung dalam labirin kepalsuan nan
memabukkan
sebab aku terperangkap dalam jerat-jerat keakuan
Kutuklah aku untuk mencintaiMu

Jauhkan segala yang akan menjauhkan aku dariMu
Singkirkan segala yang menyilaukan aku dari
memandangMu
halau segala yang menambatkan hatiku tidak
padaMu
kutuklah aku menjadi pecinta sejatiMu

2 Tanggapan to “PENGANTAR DISKUSI BUKU KUMPULAN PUISI MUKHID: TULISLAH NAMAKU DENGAN ABU – Nanang Suryadi”

  1. rendra banget

  2. febriantoeko Says:

    gimana kita bisa daftar wordpress kita agar dapat duit, kalau blogger kan di google adsense, kalau wordpress kita daftar di mana mohon petunjuk, lumayan weblog aku udah banyak pengunjungnya , kunjungi juga http://www.febriantoeko.wordpress.com

Tinggalkan komentar